Masih
Ada Waktu
Jarum waktu menerkamkan
bara membakar semua yang kumiliki
untuk di pinang
pada kantong bajunya, akupun enggan menjadi mempelainya,
meski bintang gemintang
telah aku buru,
menyelinap di tengan
kelambu langit,
namun birunya telah menyapaku gelisah.
Akupun masih dalam
jingganya apa yang kau cibirkan.
Aku berniat
berkawan awan…..
Melepas lepuh tubuh,
dengan kawanan “merpati” bertatap elok
Membangunkan gelisah
sang palma di hujat jaman
Biarkan semai bulir
padi, tetap digenggamanku
Untuk sesuap sarapan
pagi kita, menantang jaman
bersama istriku, “Sang
Rembulan”
Meski kita berdua tak
memiliki rajutan kain sutera esok pagi
Namun air Toba tetap
menjadi penyejuk
Agar pematang di sawah
tidak bercampur dengan noda busuk
Seperti yang dijinjing
punggawa negeri, menebar sembilu
hingga “perih dan
pedih” menyelingkui Ibu Pertiwi.
Aku orang kecil,
menebas halimun “Solar Flare” tak mampu,
Apalagi larut dalam
tepuk riuh dendang “Sang Koruptor”
Mari kita hiasi tepi
jarum waktu
Dengan seloroh yang
lebih renyah, hingga waktu dapat kita pungut
Taringnya yang tajam
tidak mengoyak jantung kita
Sehingga tidak terlepas
ikatan tentang sebuah Negeri Bidadari
Yang bersemayam di
beranda Toraja, dan menebar wangi bunga
diantara Serambi dan
Puncak Jaya Wijaya
(Semarang, 13 Januari
2012).
Aku
Bukan Malin Kundang
Bila Sang Ibu bersedih,
Biar air matanya kesedu
dalam peluh
hingga hilang penat
tubuhku
aku tetap menjagamu
Bila Sang Ibu
mengerlingkan mata
Seribu makna akan aku
buru
hingga ke ujung langit
akupun tetap dalam
cumbu rayu
Bila Sang Ibu berduka
Akupun menebas langit,
mencari selendang
bidadari, agar engkau terlelap dalam negeri gubug bambu
akupun menunggu pagi
Bila Sang Ibu menjenguk
langit
Hingga badai di beranda
rumahku
Akupun tersungkur dalam
doa
Pada Sang Segalanya di
atap langit
Agar Ibu menjenguku
lagi.
(Semarang, 13 Januari
2012).
Surat
untuk Negriku
Matahari telah lama dalam canda
di pelataran Bukit Barisan,
untuk bercumbu
dalam riang pesta teh
hangat
yang disidorkan di atas
nampan Negri Seribu Dongeng.
Bertiup semilir angin dari
celah Pegunungan Kidul
Nyanyian burung pagi
hari
Menjadi hidangan wajah bergincu syahdu
Yang tak pernah
terlewatkan dewa dewa di “Indrakila”
Karena darinya, negeri ini terbujur dalam bentangan
Akupun terkungkung, dalam taman bunga
Yang tak lelah
menjulurkan kelopaknya
Hingga dalam episode
orang kecilpun
Mereka masih memingit
mega-megamu
Berjaga di pagar
bambu halaman rumahmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar