Jumat, 30 November 2012

Aku Bagai Kuda Liar

aku mencintai dunia ini...
meskipun hadir dengan berbagai warna..
terkadang  hadir misterius,
sepanjang fajar matahari menyapa atau senja mengusap
aku bagai anak ingusan, namun kadang seperti kuda  liar
semua gemeretak tulang tulangku,
bagai gemuruh ombak lautan
aku berusaha mencari tautan pada semua angin
tak berarah, terbungkus debu jaman yang angkuh
bertabir  tipu daya dan angin sejuk segar
yang meniupkan belati mengoyak jantungku
merapatkan tulang igaku

aku sudah cukup menjadi anak ingusan,
meski  belum  mampu  menjenguk  arah  angin
atau  dendang  daun palma yang tertusuk  angin kemarau
maka tak seberapa tulang belulangku  mengikuti laju bumi

lebih baik aku menjadi kembara
bersama angin yang bertelanjang dari  rame warna warni kekonyol;an
hingga aku bangun dari tidurku
Semarang, 1 Desember  2012

Rabu, 28 November 2012

Episode untuk Orang kecil


Bambang Sukmadji

Masih Ada Waktu


Jarum  waktu  menerkamkan  bara membakar semua yang kumiliki
untuk  di pinang  pada kantong bajunya, akupun enggan menjadi mempelainya,
meski bintang gemintang telah aku buru,
menyelinap di tengan kelambu langit,
namun birunya  telah menyapaku gelisah.
Akupun masih dalam jingganya apa yang kau cibirkan.

Aku berniat berkawan  awan…..
Melepas lepuh tubuh, dengan kawanan “merpati” bertatap elok
Membangunkan gelisah sang palma di hujat jaman
Biarkan semai bulir padi, tetap digenggamanku
Untuk sesuap sarapan pagi kita,  menantang jaman
bersama istriku, “Sang Rembulan”
Meski kita berdua tak memiliki rajutan kain sutera esok pagi
Namun air Toba tetap menjadi penyejuk

Agar pematang di sawah tidak bercampur dengan noda busuk
Seperti yang dijinjing punggawa negeri,  menebar sembilu
hingga “perih dan pedih” menyelingkui Ibu Pertiwi.
Aku orang kecil, menebas halimun “Solar Flare”  tak mampu,
Apalagi larut dalam tepuk riuh dendang “Sang Koruptor”

Mari kita hiasi tepi jarum waktu
Dengan seloroh yang lebih renyah, hingga waktu dapat kita pungut
Taringnya yang tajam tidak mengoyak jantung kita
Sehingga tidak terlepas ikatan tentang sebuah Negeri Bidadari
Yang bersemayam di beranda Toraja, dan menebar wangi bunga
diantara Serambi dan Puncak Jaya Wijaya

(Semarang, 13 Januari 2012).

 Aku Bukan Malin Kundang

Bila Sang Ibu bersedih,
Biar air matanya kesedu dalam peluh
hingga hilang penat tubuhku
aku tetap menjagamu

Bila Sang Ibu mengerlingkan mata
Seribu makna akan aku buru
hingga ke ujung langit
akupun tetap dalam cumbu rayu

Bila Sang Ibu berduka
Akupun menebas langit, mencari selendang
bidadari, agar  engkau terlelap dalam negeri gubug bambu
akupun menunggu pagi

Bila Sang Ibu menjenguk langit
Hingga badai di beranda rumahku
Akupun tersungkur dalam doa
Pada Sang Segalanya di atap langit
Agar Ibu menjenguku lagi.......(Semarang, 13 Januari 2012).

Surat untuk Negriku

 Matahari telah lama dalam canda
di pelataran Bukit Barisan, untuk bercumbu
dalam riang pesta teh hangat
yang disidorkan di atas nampan Negri Seribu Dongeng.
Bertiup semilir angin dari celah Pegunungan Kidul

Nyanyian burung pagi hari
Menjadi  hidangan wajah bergincu syahdu
Yang tak pernah terlewatkan dewa dewa di “Indrakila”
Karena darinya,  negeri ini terbujur dalam bentangan
Akupun terkungkung,  dalam taman bunga
Yang tak lelah menjulurkan kelopaknya

Hingga dalam episode orang kecilpun
Mereka masih memingit mega-megamu
Berjaga di pagar bambu  halaman rumahmu
Semarang 13 Jan 2012

Kasihku....



Kasihku,....

Brangkali dalam mimpi, yang kau hadirkan

bersama angin malam, aku telah menyambangi

“Mount Everest” dan “Mahameru”, berdandan

perawan desa bermandi embun pagi

jangan dulu kau, luruhkan manik manik

merah jambu, akupun akan rebah,

dalam bilik, meregangkan semua nadi darah.


Kasihku,.....

Bila telah kau basahi bunga bunga cinta

dengan “metamorfosis” tiap tepi hatimu

lebih baik, aku melekang ditikam mentari

lantas aku lentingkan pagi hari ke tempat kicau kawanan

burung dengan gincu bibir “galau dan resah”


Kasihku,...

Bila senyumu terus beruntai “Anggrek Bulan “

Di putiknya aku titipkan sebuah prosa bait demi

bait, agar lebih kentara lagi kau....

menyusun semua yang hilir mudik di pembuluh nadiku

aku telah tertawan


(Semarang, 27 Nopember 2011).

Aku tersudut...

biarkan semua memuntahkan nyaring suara
aku hanya menyimpanya dalam nyanyian ombak di laut
dalam sudut pilu, jantung hati adalah seribu sayap iblis
penghuni kaki langit, yang menghimpit
nadi darah menghempas batu karang

aku dalam ritmis alam, kemana padang luas kurentang
batu gunung sesekali menjenguk sudut jantung
namun aku tetap liar.....
seliar burung bangau memburu musim tanam
namun kemana kujumpa musim bunga menerbangkan sarinya..
akan aku padukan dengan dongeng hidup dari emak di kampung

aku merapatkan tulang igaku sendiri
lengang di depan sang perjalanan merentang sayap
atau aku hanya miliku sendiri, saat kau menolehkan wajah
tak bercanda  menyusun prosa cinta, aku terkapar
jangan kau paraukan nyanyi burung pagi hari
saat aku tersentak di sudut kamarku sendiri, kau meniti tanpa arah
aku memburu hingga puncak Mount Everest

Semarang akhir Nov 12