Kau sempat datang dengan mencabik,
mengeluti semua yang kubenahi
daun pandan, yang berdiri tegak
untuk menghias senja
kala kau datang, warna pelangi meluruh
mengabarkan episode pilu
kau tan mampu menjinjingku
sebuah “cinta”
seperti juga kasihku,aku telah meminang
biru langit yang melingkungi aku dan kau
Namun gerimis datang,
tanpa semilir..angin biru berujung
melati putih berkawan mawar merah
biar aku reguk dalam sepenggal puisi
Mawar,melati dan Kenanga
Hanya diam membujur, tak sepotong katapun
Aku dapati...aku dalam kelu
Lidah melipat dalam atmosfer yang membeku
Kenari, derkuku dan Kutilang’
Tak berani menyambangi bilik kamarku
Mereka memilih terbang tanpa batas
Untuk menengok langit biru
Biru dalam keluku
tak mungkin ku terjang dengan bengis
dan dalam ikatan sajak mengiris luka
bila aku sendiri telah kelu lidahku,
nanar mataku, hitam kelopak mataku,
mengepal dengan mengibaskan prahara kelam
aku sengaja memetik sehelai daun pandan
bergurat “asih” dengan beralas nampan
kayu jati, dengan cemerlang angan
yang mengkokohkan setiap pagi milik kita,
malah kau menghilang berlalu
menyelinap dalam gerimis
tanpa melontarkan sebingkai senyumpun
aku buru dengan berkawan angin tenggara
agar mampu hinggap di cakrawala dan
gubug bambumu, di tengah kuning padi di sawah
kita “menyantap hidangan pagi”
dengan sekerat singkong dan sebungkus nasi
yang harum dan “kekes”...
kekasihku...bilakah engkau ini.....
aku buru dalam sebuah gerimis......(Semarang, 9 Desember
2011)
Aku Tak Tahu
Dalam gerimis yang kau usung
Aku tidak tahu, kau susun bungamu kembali ?
Dalam nyanyian “bait demi bait” sihir cintamu,
aku tak tahu..tak sepotongpun
cerita burung dalam keranjang sutra
aku menepi...... ......(Semarang, 9 Desember 2011)
Hanya untuk Kita
Telah hampir semur
pohon durian....
Di depan rumah kita, tak ada “sumpah serapah”
Kita bertaut dalam “dongeng cinta Panji Asmara Bangun”.
Kau selalu senyum,
berdendang rembulan
Akupun terkapar dalam rindu.. ......(Semarang, 9 Desember
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar