Kamis, 15 November 2012

Kabut di Puncak Merapi



Mengapa tak kau gapai saja.
Kabut  pagi berujung semai tanaman padi.
Melilit sepanjang liuk lerengmu, yang mengukuhkan sebuah.
senyum genit……,
namun kau lebih suka,
menancapkan sebuah tabir, yang merontangkan.
Jiwa yang melabuhkan sebuah kegalauan.
pada saat sawah ladang.
Mampu memberi keteduhan….
Kita yag bergayut di semakmu
Tidak mungkin lagi memberi sorot mata.
Tentang merajuknya dan ronamu.
Kala lukisan plangi lari terbirit.
Lantaran senja telah kau campakan.

Kita dengan sontak, berjejer di pinggir  jalan desa.
Harus membasahi kelopak mata .
Dengan tetesan air mata, mengapa kita harus.
Saling mengerling bilah hati kita.

Padahal sekawanan burung.
Dengan celoteh tentang hidup, yang melegakan nafas.
Telah kemarin sore, menggalang birama.

Agar lerengmu tak lagi berpaling
Dan menyudut di kaki langit
Lantaran telah menusukan sembilu
Pada ilalang yang bergoyang di terjang pasat
Atau memang segenap egomu
Kini mengguratkan “kahyangan suralaya”
Yang tak sejengkalpun bertabur ilalang

Atau karena pematang di lerengmu
Telah menusukmu hingga pedih terasa sekujur tubuhmu
Hingga memang manusialah yang harusnya.
paling mengerti tentang tentang deru, debu bahkan
kembang warna warni, di Indraloka

atau lantaran penyamun telah mencuri hatimu
meradangkan keegoan dan keangkuhan
di balik punggungmu….
Hingga memang kau harus marah
Dan menerjang asa, bilah nafas dan leher leher
Berkalung palawija, padi dan sayuran
Kini tak tampak lagi
Dandanan gaun warna jingga
Kala kau hendak beranjak ke pengaduan
Setelah seruling dari angiin soremu
Mengusap peluh dari hidup yang nestapa

Merapiku, tersenyumlah demi anak cucu
Yang menyambangi wajahmu
Dengan pwluk cium
(Semarang, 8 Nopember 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar