Mengapa tak kau gapai saja.
Kabut pagi berujung semai tanaman padi.
Melilit sepanjang liuk lerengmu,
yang mengukuhkan sebuah.
senyum genit……,
namun kau lebih suka,
menancapkan sebuah tabir, yang
merontangkan.
Jiwa yang melabuhkan sebuah
kegalauan.
pada saat sawah ladang.
Mampu memberi keteduhan….
Kita yag bergayut di semakmu
Tidak mungkin lagi memberi sorot
mata.
Tentang merajuknya dan ronamu.
Kala lukisan plangi lari terbirit.
Lantaran senja telah kau campakan.
Kita dengan sontak, berjejer di
pinggir jalan desa.
Harus membasahi kelopak mata .
Dengan tetesan air mata, mengapa
kita harus.
Saling mengerling bilah hati kita.
Padahal sekawanan burung.
Dengan celoteh tentang hidup, yang
melegakan nafas.
Telah kemarin sore, menggalang
birama.
Agar lerengmu tak lagi berpaling
Dan menyudut di kaki langit
Lantaran telah menusukan sembilu
Pada ilalang yang bergoyang di
terjang pasat
Atau memang segenap egomu
Kini mengguratkan “kahyangan
suralaya”
Yang tak sejengkalpun bertabur
ilalang
Atau karena pematang di lerengmu
Telah menusukmu hingga pedih terasa
sekujur tubuhmu
Hingga memang manusialah yang
harusnya.
paling mengerti tentang tentang
deru, debu bahkan
kembang warna warni, di Indraloka
atau lantaran penyamun telah
mencuri hatimu
meradangkan keegoan dan keangkuhan
di balik punggungmu….
Hingga memang kau harus marah
Dan menerjang asa, bilah nafas dan
leher leher
Berkalung palawija, padi dan
sayuran
Kini tak tampak lagi
Dandanan gaun warna jingga
Kala kau hendak beranjak ke
pengaduan
Setelah seruling dari angiin soremu
Mengusap peluh dari hidup yang
nestapa
Merapiku, tersenyumlah demi anak
cucu
Yang menyambangi wajahmu
Dengan pwluk cium
(Semarang, 8 Nopember 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar