Jangan
kau gandeng butir demi butir, seloroh hujan yang membasahi sore hari
Kala
jalanan desa menjadi licin, memberikan sebuah dusta
Untuk
apa pelangi yang berkanvas warna warni
Bila
ufukpun sebentar lagi melipatnya, ikat saja kembang kehidupan
Untuk
kau simpan di malam hari
Agar
semerbak membahana sebuah keharuman di balik tirai
Kamar
pengantin kita…….
Senja
demi senja……..
Kita
terbangkan sayap sayap kasih dan sejuk bilik jantung
Agar
mampu menyentuh beranda hujan
Yang
bertaut erat di awan awan berwajah gelap
Lantas
kita mampu merebahkan sejuta wajah kelabunya.
Telagaku,……..
Jangan
kau penuhi sorot mata yang menghujamkan
Pada
tepian langit yang berpagar dusta…
Hingga
aku terpelanting dalam semu
Menguliti
semua bekal perjalanan lantaran di telan debu debu meradang,
dan
melekangkan semua sendi, hingga hancur semua tulang igaku
Masih
ada batas senja
yang
bertanam Bougenvil, anyelir dan kembang sepatu
Lantas
kita untai menjadi tekad
Agar
malam tiada lagi berkalang gerimis yang bertatap cemburu
Kita
kokohkan pagar rumah meski dari bambu
Yang
berwarnakan merah mawar, kuning kenanga dan hijau daun papaya
Kita
punguti saja daun daun kering yang bersertakan di beranda
Untuk
kita jadikan sebuah kisah, tentang titian hidup kita
Yang
bersandar pada lengan kecil.
Dan
punggung kita yang berteriak
Lantaran
sarat dengan fatamorgana hidup,
Kemarin
sore masih ada badai dan petir yang mengusung hujan
Kitapun
akan gontai melangkah bila kau hanya
memincingkan mata
Jangan
ada lagi air mata
Layaknya
Merapi yang relah sirna kepeduliaanya
Kita
hanya anyaman ilalang
Berakat
kecil di tengah padang gulita malam
Dan
terik sang Bagaskara bila siang mongering
Namun
kita masih punya pagi berhias burung pipit dan kenari
Jangan
kau tundukan wajahmu, telagaku…..(Semarang, 29 November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar