Minggu, 18 November 2012

Hujan Bersorot Cemburu



Jangan kau gandeng butir demi butir, seloroh hujan yang membasahi sore hari
Kala jalanan desa menjadi licin, memberikan sebuah dusta
Untuk apa pelangi yang berkanvas warna warni
Bila ufukpun sebentar lagi melipatnya, ikat saja kembang kehidupan
Untuk kau simpan di malam hari
Agar semerbak membahana sebuah keharuman di balik tirai
Kamar pengantin kita…….

Senja demi senja……..
Kita terbangkan sayap sayap kasih dan sejuk bilik jantung
Agar mampu menyentuh beranda hujan
Yang bertaut erat di awan awan berwajah gelap
Lantas kita mampu merebahkan sejuta wajah kelabunya.

Telagaku,……..
Jangan kau penuhi sorot mata yang menghujamkan
Pada tepian langit yang berpagar dusta…
Hingga aku terpelanting dalam semu
Menguliti semua bekal perjalanan lantaran di telan debu debu meradang,
dan melekangkan semua sendi, hingga hancur semua tulang igaku
Masih ada batas senja
yang bertanam Bougenvil, anyelir dan kembang sepatu

Lantas kita untai menjadi tekad
Agar malam tiada lagi berkalang gerimis yang bertatap cemburu
Kita kokohkan pagar rumah meski dari bambu
Yang berwarnakan merah mawar, kuning kenanga dan hijau daun papaya
Kita punguti saja daun daun kering yang bersertakan di beranda
Untuk kita jadikan sebuah kisah, tentang titian hidup kita
Yang bersandar pada lengan kecil.
Dan punggung kita yang berteriak
Lantaran sarat dengan fatamorgana hidup,

Kemarin sore masih ada badai dan petir yang mengusung hujan
Kitapun akan gontai  melangkah bila kau hanya memincingkan mata
Jangan ada lagi air mata
Layaknya Merapi yang relah sirna kepeduliaanya
Kita hanya anyaman ilalang
Berakat kecil di tengah padang gulita malam
Dan terik sang Bagaskara bila siang mongering
Namun kita masih punya pagi berhias burung pipit dan kenari
Jangan kau tundukan wajahmu, telagaku…..(Semarang, 29 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar