Minggu, 18 November 2012

H u j a n


Sepotong hujan menyelinap dalam kamarku

berdinding anyaman bambu,…tak sempat ku tanya

apa yang kau jinjing


dengan bibir gincu

kau merengkuh selimut biru malamu…

lantas kau berikan sedikit canda

agar aku mampu …terbang ke langit jingga

tempat sekumpulan awan berseloroh

hujanku, kini mulai membasahi

selimut malamku  ……(Semarang, 20 Oktober 2011)



Merajut Bunga Setaman


Kini kau kehilangan nafas

setelah seharian membasahi  bumi ini

namun masih kau kuat menerkam

sudut jantungku yang  bersemayam sebuah prosa hidup


terbangkan juga bilik jantung ini

hingga aku tidak letih memungut nafasku,

dan kau ikat saja pada kilat dan petirmu

agar mampu menggertak tidur pagiku,


agar rajutan bunga setaman

mulai nampak indah…akupun berteman dengan

kupu kupu, tanpa melipat wajahnya

karena telah letih sudah

dan penat semua sendi tulangku

terbangkan aku dalam taman bunga

yang kurajut sendiri    ,,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)



Pesta Petir                         


Saat ini, semua  temaram jalan bergerigi

dari basahnya tanah liat, dan timbunan jerami

adalah milikmu


Tidak usah kau tebak,

warna apa yang melecut, membelah gerimis senja,

yang menukik dan menyergap

semua yang berlengan kurus

karena semua adalah milikmu


Sempat aku buru, pijakanmu

tempat kau menebarkan petir, dan mengosongkan atmosfer

tempat kita bertaut nafas,

namun tiada satupun burung, awan dan pelangi

yang aku jinakan


semua hanya membanting sorot mata

pada tatapanku yang kosong              ….Semarang, 20 Oktober 2011)




Nyanyian Tentang Hujan


Bila kau tautkan ujung ujung langit

dalam mozaik yang memenuhi atmosfer

yang dahulu, adalah bening melebihi ketulusan

sebuah kaca


Lantas kau redupkan hingga menghitam

dan tak mampu lagi, menidurkan bocah pada tidur siangnya

saat kau menghujam mereka dengan

kuku dan taringmu yang menghitam,


Adakah karena hutan, yang tak semulus

pipi perawan desa

yang  melegamkan pula tanah gambut

karena berteman dengan api


Padahal dahulu adalah tempat bercengkerama dewata

di bawah naungan daun palma dan nyiur

di pantai penuh kesejukan dan canda riuh

dari semua yang diusung alam ini ,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)



Hujan Yang Tak Kumengerti

Masih saja kau ikatkan

seloroh yang menghempaskan sungai, ladang, sawah

padi menguning dan sekeranjang harap ilalang

yang berderet di wajah bumi


Masih saja kau menghempas

kaki  kaki telanjang, dengan genggaman hidup

yang rapuh, meski sempat menengadahkan kedua tangan

agar kau lebih ramah lagi

menyanyikan tembang dolanan

pada haribaan yang menguning padinya

telah ranum buah buahan

telah matang palawija dan seikat bunga harap


Lantas mengapa kau usung juga wajah garang

hingga lepas semua mentimun

dari ranting ranting yang ringkih

jangan kau tebarkan kelopak bunga yang berduri

hingga membuat manusia menyeringai

dan mengeluh bermandi peluh


Mengapa tak kau sejukan atap rumbai

gubug bambu  di tengah sawah

agar lebih terasa leluasa angin barat

yang membawamu ke tiap penjuru bumi ,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)



Hujan, Sebuah Kado untuk Istriku


Masihkah kau ulang lagi……..

kau rajut  pagi dengan mata nanar, hingga gendang telingaku

ikut larut dalam sumpah serapah

kala halaman rumah kita, hanya menyongsong tawa parau

berlantai  rumput liar dan ilalang yang mengering

sekali sekali hanya meluruh bunga kamboja

lantas kau terkam aku dengan senyum hambar


Kini telah basah,  halaman rumah, kebon singkong

di sisi taman bunga anyelirmu, saat kau tanam

di tengah kemarau yang menelan kulit dan dagingmu


Istriku, kini sambutlah hari yang sejuk dan dingin

berenda pagi dan nyanyian kenari

serta riang dan jenaka anak anak kita

yang telah kenyang dengan tiwul dan nasi aking,,,,,(Semarang, 20 Oktober 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar