Berdiri di Benang Kodrat
Hanya sepotong
baju, namun telah penuh mozaik
direnda resah,
semua benang tak harus “genit” dalam
warna,
terus
menantang angin, meski tepinya tak kokoh
berpegang pada
petuah langit,
Aku
terperanjat,
di sela
anyelir
membidik dan
menghempaskan
semua putik
dan sari
hingga lunglai
kelopaknya
Hanya engkau
yang ada
Setiap yang
dijinjing, menunggu “Sang Pembawa Warna”
untuk
menautkan jingga di ketiak pelangi,
sementara
praharapun berselingkuh pada
birama yang tak
lapang...sepi
Aku tetap
meniti jalan kodrat
meski samar
tak harus mengurungkan niat
angin pagi
dari setiap lekuk alam
telah aku
gapai.....
dengan seutas senja
yang merabun
aku yang tertatih, tanpa memungut episoda yang
hilang
aku yang
sendiri dalam diriku.....(Semarang, 17 November 2012).
Senja Jingga Bertepi Pelangi
Bila kuberikan
sepotong dahaga
Engkaupun menuai dengan sebuah telaga,
bila aku
sodorkan sekerat singkong rebus
dari usungan
hidup
engkaupun
tajam merenda warna pelangi
Bila kita adalah
belukar, maka janganlah
kita saling
mengenyahkan rasa,
engkaupun
tulus tersenyum
untuk biji
mentimun yang semi
menjaga warna
langit
dalam biru
yang menelikung peraduan
Sebuah hasrat,
adalah pewarna
dinding kamar pengantin
berkelambu
jingga.... di tepi senja
pelangi inipun
milik kita berdua..... .....(Semarang, 17 November 2012).
2
Detik demi detik
Kita yang
terbawa kereta waktu
Entah di
pemberhentian mana
kita menukar
baju,
hingga
daun-daun palma
memberikan
sekilas kagum
engkau yang
bergaun milik Putri Kaca
tak pernah
mengerling mata
pada jalan
tanah liat
berbatu
durhaka,iri dan dengki
Dengan kembang
setawan
Kau urai semua
prosa dalam “kelam dan benderang”
Akulah yang
memiliki detik ini
Sementara
engkau memberikan kado
Pada detikmu
sendiri
Kita dalam
detik demi detik.... .....(Semarang, 17 November 2012).
Bungalow Berdinding Bambu
Meski
hanya kecil, dikelilingi “peluh dan kulit legam”
dari
bambu yang tak melapuk,
Namun
sebuah prosa nukilan sepotong hidup,
telah
bersatu dengan “gaun berenda biru”
milikmu
Tiada
satupun debu dan deru
Mampu
mengemas dalam angin pasat
yang
memisahkan kita pada dua cakrawala…
Bungalow
kitapun masih menghitung waktu
Untuk
menyambut datangnya tahun baru
Kala
perdu dan belukar, ikut terbang
mengikuti
kemana arah “kembang api jaman”
namun
tak akan memasang gendang telinga
pada
terompet yang melengking
menggulung
“negri santun”.
Kita
hadapkan pada yang
menggiring
dan meniup angin,
biarlah
bungalow kita Nampak senyap
asalkan
lidah kita telah basah, memasang benang
ke
langit biru…......(Semarang, 18 November 2012).
Sayur Asam
Kita
hanya mampu menopang diri kita,
dalam
pilu, resah dan was-was
tentang
berputarnya bumi,
ke
arah tak tentu, hingga tertinggalah
bilik
“rumah gadang” dalam perjalanan
memburu
waktu
Kita
hanya menyandarkan pada rasa,
Sayur
asam dari bumbu kebon kita
Apalagi
“Hotdog” dan “Hamberger”
Hanya
ada di meja noni dan menir,
telah
menggeliat, menelan mentah mentah
kita
yang tak punya harap
Namun
dalam rasa sayur asam
Kita
berbagi kemarau dan hujan
Meski
hanya di atas meja bambu
Inilah
bumi
Tempat
ilalang bermandi kasih ….( Semarang, 18 November 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar