Sabtu, 17 November 2012

Doa Malam

1.      Dalam Doa Malam

 

sekeping hidup dalam buai panjang

pernah singgah,  menepikan seraut  episode menakutkan

di tengah makian debu debu menyesak dada

tak urung,   nyanyian duka

telah disemai di puncak yang bukan milikmu

meski bibir gincu, menyapa hari hari yang asing

tak satupun nama tertanam di pepohonan

yang kekar dan sejuk

 

merah jambu awan senja

bertepi putih membiru tepi langit

telah menyongsong wajah yang akrab dengan

lipatan jaman…guratan hidup mencumbu nafas

kala terlihat lelah kedua mata kita.

 

kau mencoba mengukir sisi langit

yang membentuk barisan awan…bertanam mekar sari

seberkas himpitkan  tajam  sebagian langit

meluruhkanmu, …..kembali sepi

dari indahnya wajah bulan di bumi dongeng

hanya tinggal, bahtera yang mengusung

serpihan layar menantang angin buritan

 

lebih baik kau tawarkan mawar jingga

dalam sebagian malam

bertabur sayap malaikat dari rajutan langit

kemana lagi akan kau cincang hidup ini

bukankah potongan doa lebih indah

dari jarum waktu yang kau tinggalkan……(Semarang, 9 Februari 2012)

 

 

2.      Entahlah Meski di Mana Aku Berada

 

hanya bentangan kuning padi berseri,

terbawa liarnya angin memburu seribu makna

kadang menengadahkan bulirnya ke mentari

berkuning rapat rambut sutra

atau meliukan rindu ke biru gunung menawan

menata kembali nafas yang terpagut merona tepi jaman

entahlah hanya tangkainya yang menggenggam makna

dari dahinya yang berkerut

dan rongga matanya yang dalam membisu.

 

atau……….

biarkan saja awan jingga dalam angkuhnya

menerpakan sisi cakrawala barat

tempat merpati meluruskan sayap

aku terselip di dalamnya ikut menggetarkan

makna – makna yang meluruh di gerimis senja

 

aku kencangkan genggam jemari

yang tergolek lesu kalau seribu cermin ego menghimpitku

aku kabarkan dalam seloroh prosa pujangga

namun hanya bait yang menunggu merekahnya mawar jingga

beruntai gerigi tajam menghanyutkan sisi sendiku

aku  kembali dalam canda manja alam

atau kepak kenari yang melambungkanku

menuju batas pandang yang samar

aku tak tahu….

 

sempat pula sang camar

membenah pantai dari rerimbunan durjana

yang menghitami, jantungnya

namun tanpa mata nanar dan syak wasangka

sang camarpun hinggap di biru langit

dengan wajah menunduk, memunguti  bentangan harap

aku dalam sepi….

 

masih ada sisa bait, yang terpendam pada

dalamnya kalbu, hanya makna yang aku sendiri

lelah menjinjing di balik wajah yang mencibirkan kelu

mari kita kembali untuk mengetam padi

meluruskan pematang sawah kita

agar kuning padi menyeringai dalam seloroh mentari

hingga belalang melipatkan sayapnya

kita dalam damai

agar tiada lagi sepi….sebuah gambar alam……(Semarang, 8 Pebruari 2012)

 

 

 

3.       Semuanya Kan Usai

 

lantaran apa kita pinang embun pagi

yang renyah menyelerohkan cakrawala di balik gunung

hingga kita terpikat pada lesung pipit

dan gemulai Gambir Anom sang pesinden penuh

cahaya malam…dan lampu jaman

 

tulang-tulang iga kita tlah merapat

dijemput maghligai susun tujuh empat penjuru langit

gendang dan kecapi tak mampu lagi

menarikan dedaunan palma di ujung rumah kita

apalagi lagi  dolanan anak anak  yang bertembang

hanya seberkas kenangan dalam rindu hati

bersama kekasih kita

 

lekaslah mencanda jantung kita masing-masing

agar nyaman tidur siang kita…………(Semarang, 8 Pebruari 2012)

 

4.      Senyum

 

dalam senyum sang lelaki tak lagi memincingkan mata

bila rerimbunan pohon tlah menyejuk jiwa

semua gambaran alam..melapangkan dadanya

 lembayung senja bertanam bunga melati

lelaki itupun….entah milik siapa……(Semarang, 9 Februari 2012)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar